13 Oktober 2008

Realitas Sastra dan Kehidupan*

Sahabatku, Fiskiyya akan selalu bertanya kalau aku bercerita tentang apa saja. “Sen, ini fiksi atau bukan?” Kadang aku pikir ia seperti fobia dengan segala hal yang berbau fiksi atau sastra. Entah itu novel, cerpen atau apa pun yang dianggapnya tidak benar-benar terjadi dalam dunia nyata. Kadang, separuh ingin tertawa, separuh gerah mendengar pertanyaannya. Sampai-sampai aku tahu pasti, untuk selalu memberikan prolog sebelum bercerita tentang apa saja padanya. Menegaskan bahwa ceritaku bukan fiksi.

Namun, entah bagaimana aku tetap mencintai dunia itu. Dunia sastra dengan berjuta tokoh dan karakter di dalamnya. Mereka, justru sangat nyata untukku. Kalau Helvy Tiana Rosa mengatakan Sastra yang merenggutnya dari Pasrah, aku justru berpikir kalau sastra yang membuatku memahami dunia yang sesungguhnya. Dari sastra aku belajar makna hidup, arti kehidupan. Dari sastra aku belajar bertahan, dari sastra aku tahu bahwa manusia kadang bertindak bodoh atau justru berbahaya. Sastra mengajariku banyak hal, membuatku merasa, membuatku tahu sedikit lagi tentang hidup.

Novel meramaikan duniaku ketika terasa sepi dan sendiri. Novel mengalihkan perhatianku dari menggunjingkan pria terkeren atau jalan-jalan ke mall ketika duduk di bangku SMA. Aku menikmati dunia dari kamarku-di rumah dulu, kostan-sekarang, dengan buku berserakan di dalamnya. Aku merasa, berpikir, hidup, dan menjadi manusia, ketika bergelut dengan wacana-wacana cerita.
Dalam tetraloginya Pramudya Ananta Toer dari Bumi Manusia hingga Rumah Kaca yang membuatku berpikir arti dan nilai sesosok manusia. Dari Burung-burung Manyar Romo Mangun yang membuatku berpikir ulang arti jati diri seorang wanita dan pilihan hidup. Lalu seri Supernovanya DEE yang membuatku menertawakan diri sendiri karena sama bodohnya dengan sosok Elektra dan terharu dengan kisah cinta Ferre dan Riana di akhir kisah mereka.
Melalui sastra kadang kala aku merasakan begitu kecil dan tidak berartinya dunia, belajar filosofi hidup orang lain, makna perjuangan dan kehormatan. Mempelajari pertentangan nilai Timur dan Barat dari Para Priayi dan Jalan Menikungnya Umar Kayam. Aku bahkan merasa diriku semunafik Yasmin Moningka atau justru senaif Laila dalam Saman dan Larungnya Ayu Utami. Dan membaca itu semua menyuntikkan suplemen energi bagi hidupku kala stagnan dan hampa menyapa. Membuatku sejenak lupa arti patah hati dan kecewa. Membawaku melambung tinggi bahwa suatu hari aku juga mampu menuliskan sesuatu yang berarti bagi sesama, seperti penulis-penulis yang karyanya aku baca.
Mengenal sosok Elly yang mencari jati diri, yang mencari kekuatan dengan pelarian tanpa henti, dengan pengabaian yang menyakiti diri, dengan pengorbanan, dengan hampa dan kesendirian dalam Area X-nya Eliza V Handayani. Merenungi pertanyaan Dewi Sartika dalam novelnya Dadaisme, apakah pengkhianatan dapat dibenarkan atas nama cinta? Lalu ada Geni Jora Abidah Al Khaeli yang membuka wacana spiritual dan religiku dengan pemberontakan tokoh Kejora. Sosok yang coba kuurai dalam keseharianku. Sosok yang hanif tanpa harus menjadi naif.
Lantas aku berpikir pada alur hidupku sendiri. Karakter, sifat dan sikapku sebagai manusia nyata, bukan tokoh novel seorang pencerita. Manusia yang ada di dunia dan melihat banyak warna bermain di cakrawala. Aku mengalami getirnya ditinggalkan oleh seseorang yang begitu berarti untuk selamanya, sosok yang sejak kecil mengenalkan perjuangan hidup untuk mempertahankan harga diri. Aku pernah merasakan terhinanya diri tanpa uang, ketika Ayahku belum bisa melunasi uang DSP ketika sekolah dulu. Aku pernah melaju di jalanan Jakarta dalam mobil sekelas Merci bersama Tanteku dan dua anaknya yang masih TK di dini hari yang gigil menghindari kemelut keluarga. Mengenal banyak manusia yang memiliki label-label tersendiri. Teman, keluarga, kenalan, kekasih dan sebagainya. Segalanya berkelindan, berproses dalam memoriku menjadi guliran kenangan-kenangan yang saling bertautan dari zaman ke zaman.
Sastra, menurut seorang Profesor yang kukagumi di kelas Sosiolinguistik-ku beberapa waktu lalu, sangat bernilai, bukan hanya sekedar buah imajinasi tanpa arti. Dan aku sadari aku sedang belajar memahami ini. Beliau juga menekankan pentingnya membela harga diri, kehormatan, citra sebagai manusia semampu yang aku bisa tanpa terjebak dalam mahkota hidup semu senilai kuasa dan permata.
Lalu dari semua novel-novel itu, sebutlah Kerudung Merah Kirmizi Remy Silado, Namaku Hiroko dan La Barkanya N.H. Dini, Ladang Perminusnya Ramadhan K.H, Merahnya Merah Iwan Simatupang, Harimau-Harimaunya Mochtar Lubis, Ronggeng Dukuh Paruknya Ahmad Tohari semuanya mengajariku mengapa hidup harus berliku dan banyak warna seperti ini, bagaimana seorang manusia berpikir dan bertindak. Mengapa arti impian dan harga diri bagi satu dan lain orang berbeda bahkan kadang bertentangan.
Entah mengapa aku justru merasa sedikit lebih berarti ketika belajar memahami, berpikir dan mencoba mengerti sosok-sosok dalam khasanah sastra. Meski kembali aku akan tersenyum dan sedikit tertawa bila sahabatku Fiskiyya kembali bertanya, “Sen, ini sastra atau nyata?” kalau aku mulai bercerita tentang sesuatu padanya. Karena pada akhirnya kadang aku pikir toh setiap alur hidup manusia selayaknya kisah sastra dalam novel atau cerita itu juga, entahlah. Betapa aku ingin tahu reaksi sahabatku itu kalau kuutarakan ini padanya, mudah-mudahan saja ia tidak akan tertawa karenanya.
*Tulisan ini pernah dimuat di harian PR pada Oktober 2005 silam.