09 September 2008

Sastra untuk Mereka

Semester ini aku kembali mendapat mata kuliah sastra. Bukan tentang teori, bukan pula tentang apresiasi. Namun, tentang problematika pengajarannya.
Sebagai tugas kuliah pertama, dosen meminta kami untuk membuat satu makalah posisi atau position paper tentang problematika dalam pengajaran sastra. Aku pikir masalahnya adalah terlalu banyak masalah. Masalah gurunya, masalah bahan ajarnya, masalah kebijakannya, masalah budayanya, masalah PBM-nya. Jadi, dari mana memulainya, nich?
Aku pun membuka bukunya B. Rahmanto. Di sana dikatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh dengan 4 manfaatnya, yakni membantu keterampilan berbahasa; meningkatkan pengetahuan budaya; mengembangkan cipta dan rasa; dan menunjang pembentukan watak.
Masalahnya adalah apakah pengajaran sastra telah memenuhi seluruh atau sebagian dari empat hal tersebut? Hm, sepertinya kini giliranku untuk mencari tahu.

Kata "Baong"

Minggu, tanggal 30 Agustus lalu aku berkunjung ke rumah seorang kakak sepupu. Terakhir bertemu, istri Kakak sepupuku itu tengah hamil tua, dan sekarang bayi yang dikandungnya telah berusia hampir 10 bulan. Nah, tersadarlah aku bahwa sudah selama itu pula aku tak bersua dengan satu-satunya kakak sepupu dari pihak ibuku itu.
Mulanya sang bayi yang bernama Nabil, putra kedua kakak sepupuku itu, merenggut dan menangis ketika tanganku terulur untuk meraihnya. Namun, lama kelamaan bayi lucu itu mau juga kugendong. Sayangnya dalam waktu kurang dari 30 menit dia sudah mengompol 3 kali.
"Ih, dasar Nabil baong," ujarku spontan.
"Baong?" sang Ibu menatapku penuh tanya.
"Baong di sana berbeda dengan baong di sini, Teh," ujar adikku menengahi.
"Oh, iya, kalau di Bandung, kata baong itu artinya nakal, sedangkan di sini -Sukabumi- kan kata baong artinya tidak bisa melihat, ya," tuturku menjelaskan sekaligus menyadari tatap ngeri kakak sepupuku.
Sebenarnya hal yang sama sempat kualami ketika sekitar enam tahun lalu aku menginjakkan kaki di Bandung dan menyerap makna berbeda dari kata baong tersebut. Mungkin karena selama enam tahun ini aku lebih banyak tinggal di Bandung daripada di Sukabumi, akhirnya tanpa kusadari kata baong yang bermakna "nakal" lebih terinternalisasi dalam diriku daripada kata baong yang bermakna "buta" atau "tidak bisa melihat".
Pantas saja kakak sepupuku kaget karena bayi lucunya dikatakan tidak bisa melihat. Mungkin dalam hatinya dia menggerutu dan berucap "Dasar, Seni baong," hehehe....

kata pertama

Bahasa menunjukkan bangsa. Bagiku, sastra menjadi bunganya. Bahasa dan sastra adalah sisi lain dari hidupku dengan porsi yang sedemikian besarnya.