23 Desember 2008

Ini hari...

Ini hari ke-24 di bulan penghujung tahun yang riuh dalam hidupku. Satu per satu pekerjaan muncul menuntut perhatian seolah tak ada habisnya, tugas-tugas kuliah, pekerjaan di sekolah, dan tumpukan dokumen kantorku yang lain, fhh....

Mungkin Desember ini postinganku tergolong paling minim dibandingkan bulan-bulan lainnya. Awal bulan kemarin aku jatuh sakit. Selama seminggu penuh aku hanya terbaring di tempat tidur. Sakit, pegal, dan tak nyaman. Bahkan ketika seminggu kemudian aku diberondong banyak pekerjaan kondisiku masih belum pulih benar. Namun, setidaknya sekarang, aku sudah mulai menemui ritme kerjaku lagi dan berdamai dengan segala macam hal yang harus kuselesaikan di penghujung tahun yang juga akhir semester ganjil ini.

Tak ada yang tak mudah memang. Tapi aku yakin dengan sikap positif dan ketekunan segalanya dapat kuselesaikan dengan baik. Semoga.

Sebagai catatan, perkuliahan di kelas secara umum sudah berakhir. Aku dan kawan-kawan tinggal bersiap menghadapi UAS di awal Januari mendatang. Selepas itu, aku harus sudah mulai beranjak untuk menempuh penulisan tesis.

Di sekolah, aku mengakhiri kelas dengan menilai penampilan drama siswa Secondary 2. Penampilan perdana mereka memiliki banyak warna tentu saja. Ada yang lupa dialog, kehilangan properti, bloking, gugup, tapi secara umum penampilan mereka cukup baik dan menghibur. Beberapa siswa memainkan peran yang karakternya bertolak belakang dengan karakter mereka sehari-hari. Mereka pun sukses mengadopsi berbagai dialek dan ragam bahasa nusantara sesuai tumtutam peran yang mereka mainkan. Kostum yang mereka pilih pun mereka pertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Menyenangkan rasanya berbagi ruang dan waktu dengan mereka.

Oh, ya, ketika beberapa waktu lalu kuperhatikan buku harian konvensionalku banyak kuisi dengan tulisan-tulisan bernada negatif, aku pun berusaha mengimbanginya dengan menulis berbagai hal positif yang kualami. Bertindak adil sejak dalam pikiran kata Pramoedya sang penulis, atau bertindak adil dalam menulis kata pacarku. Sehingga aku pun memiliki resolusi sederhana untuk selalu menulis hal positif tentang diri dan kehidupanku. Bahkan ketika menghadapi sitasi negatif sekalipun.

Hm, kupikir itu cukup untuk hari ini.

13 Oktober 2008

Realitas Sastra dan Kehidupan*

Sahabatku, Fiskiyya akan selalu bertanya kalau aku bercerita tentang apa saja. “Sen, ini fiksi atau bukan?” Kadang aku pikir ia seperti fobia dengan segala hal yang berbau fiksi atau sastra. Entah itu novel, cerpen atau apa pun yang dianggapnya tidak benar-benar terjadi dalam dunia nyata. Kadang, separuh ingin tertawa, separuh gerah mendengar pertanyaannya. Sampai-sampai aku tahu pasti, untuk selalu memberikan prolog sebelum bercerita tentang apa saja padanya. Menegaskan bahwa ceritaku bukan fiksi.

Namun, entah bagaimana aku tetap mencintai dunia itu. Dunia sastra dengan berjuta tokoh dan karakter di dalamnya. Mereka, justru sangat nyata untukku. Kalau Helvy Tiana Rosa mengatakan Sastra yang merenggutnya dari Pasrah, aku justru berpikir kalau sastra yang membuatku memahami dunia yang sesungguhnya. Dari sastra aku belajar makna hidup, arti kehidupan. Dari sastra aku belajar bertahan, dari sastra aku tahu bahwa manusia kadang bertindak bodoh atau justru berbahaya. Sastra mengajariku banyak hal, membuatku merasa, membuatku tahu sedikit lagi tentang hidup.

Novel meramaikan duniaku ketika terasa sepi dan sendiri. Novel mengalihkan perhatianku dari menggunjingkan pria terkeren atau jalan-jalan ke mall ketika duduk di bangku SMA. Aku menikmati dunia dari kamarku-di rumah dulu, kostan-sekarang, dengan buku berserakan di dalamnya. Aku merasa, berpikir, hidup, dan menjadi manusia, ketika bergelut dengan wacana-wacana cerita.
Dalam tetraloginya Pramudya Ananta Toer dari Bumi Manusia hingga Rumah Kaca yang membuatku berpikir arti dan nilai sesosok manusia. Dari Burung-burung Manyar Romo Mangun yang membuatku berpikir ulang arti jati diri seorang wanita dan pilihan hidup. Lalu seri Supernovanya DEE yang membuatku menertawakan diri sendiri karena sama bodohnya dengan sosok Elektra dan terharu dengan kisah cinta Ferre dan Riana di akhir kisah mereka.
Melalui sastra kadang kala aku merasakan begitu kecil dan tidak berartinya dunia, belajar filosofi hidup orang lain, makna perjuangan dan kehormatan. Mempelajari pertentangan nilai Timur dan Barat dari Para Priayi dan Jalan Menikungnya Umar Kayam. Aku bahkan merasa diriku semunafik Yasmin Moningka atau justru senaif Laila dalam Saman dan Larungnya Ayu Utami. Dan membaca itu semua menyuntikkan suplemen energi bagi hidupku kala stagnan dan hampa menyapa. Membuatku sejenak lupa arti patah hati dan kecewa. Membawaku melambung tinggi bahwa suatu hari aku juga mampu menuliskan sesuatu yang berarti bagi sesama, seperti penulis-penulis yang karyanya aku baca.
Mengenal sosok Elly yang mencari jati diri, yang mencari kekuatan dengan pelarian tanpa henti, dengan pengabaian yang menyakiti diri, dengan pengorbanan, dengan hampa dan kesendirian dalam Area X-nya Eliza V Handayani. Merenungi pertanyaan Dewi Sartika dalam novelnya Dadaisme, apakah pengkhianatan dapat dibenarkan atas nama cinta? Lalu ada Geni Jora Abidah Al Khaeli yang membuka wacana spiritual dan religiku dengan pemberontakan tokoh Kejora. Sosok yang coba kuurai dalam keseharianku. Sosok yang hanif tanpa harus menjadi naif.
Lantas aku berpikir pada alur hidupku sendiri. Karakter, sifat dan sikapku sebagai manusia nyata, bukan tokoh novel seorang pencerita. Manusia yang ada di dunia dan melihat banyak warna bermain di cakrawala. Aku mengalami getirnya ditinggalkan oleh seseorang yang begitu berarti untuk selamanya, sosok yang sejak kecil mengenalkan perjuangan hidup untuk mempertahankan harga diri. Aku pernah merasakan terhinanya diri tanpa uang, ketika Ayahku belum bisa melunasi uang DSP ketika sekolah dulu. Aku pernah melaju di jalanan Jakarta dalam mobil sekelas Merci bersama Tanteku dan dua anaknya yang masih TK di dini hari yang gigil menghindari kemelut keluarga. Mengenal banyak manusia yang memiliki label-label tersendiri. Teman, keluarga, kenalan, kekasih dan sebagainya. Segalanya berkelindan, berproses dalam memoriku menjadi guliran kenangan-kenangan yang saling bertautan dari zaman ke zaman.
Sastra, menurut seorang Profesor yang kukagumi di kelas Sosiolinguistik-ku beberapa waktu lalu, sangat bernilai, bukan hanya sekedar buah imajinasi tanpa arti. Dan aku sadari aku sedang belajar memahami ini. Beliau juga menekankan pentingnya membela harga diri, kehormatan, citra sebagai manusia semampu yang aku bisa tanpa terjebak dalam mahkota hidup semu senilai kuasa dan permata.
Lalu dari semua novel-novel itu, sebutlah Kerudung Merah Kirmizi Remy Silado, Namaku Hiroko dan La Barkanya N.H. Dini, Ladang Perminusnya Ramadhan K.H, Merahnya Merah Iwan Simatupang, Harimau-Harimaunya Mochtar Lubis, Ronggeng Dukuh Paruknya Ahmad Tohari semuanya mengajariku mengapa hidup harus berliku dan banyak warna seperti ini, bagaimana seorang manusia berpikir dan bertindak. Mengapa arti impian dan harga diri bagi satu dan lain orang berbeda bahkan kadang bertentangan.
Entah mengapa aku justru merasa sedikit lebih berarti ketika belajar memahami, berpikir dan mencoba mengerti sosok-sosok dalam khasanah sastra. Meski kembali aku akan tersenyum dan sedikit tertawa bila sahabatku Fiskiyya kembali bertanya, “Sen, ini sastra atau nyata?” kalau aku mulai bercerita tentang sesuatu padanya. Karena pada akhirnya kadang aku pikir toh setiap alur hidup manusia selayaknya kisah sastra dalam novel atau cerita itu juga, entahlah. Betapa aku ingin tahu reaksi sahabatku itu kalau kuutarakan ini padanya, mudah-mudahan saja ia tidak akan tertawa karenanya.
*Tulisan ini pernah dimuat di harian PR pada Oktober 2005 silam.

09 September 2008

Sastra untuk Mereka

Semester ini aku kembali mendapat mata kuliah sastra. Bukan tentang teori, bukan pula tentang apresiasi. Namun, tentang problematika pengajarannya.
Sebagai tugas kuliah pertama, dosen meminta kami untuk membuat satu makalah posisi atau position paper tentang problematika dalam pengajaran sastra. Aku pikir masalahnya adalah terlalu banyak masalah. Masalah gurunya, masalah bahan ajarnya, masalah kebijakannya, masalah budayanya, masalah PBM-nya. Jadi, dari mana memulainya, nich?
Aku pun membuka bukunya B. Rahmanto. Di sana dikatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh dengan 4 manfaatnya, yakni membantu keterampilan berbahasa; meningkatkan pengetahuan budaya; mengembangkan cipta dan rasa; dan menunjang pembentukan watak.
Masalahnya adalah apakah pengajaran sastra telah memenuhi seluruh atau sebagian dari empat hal tersebut? Hm, sepertinya kini giliranku untuk mencari tahu.

Kata "Baong"

Minggu, tanggal 30 Agustus lalu aku berkunjung ke rumah seorang kakak sepupu. Terakhir bertemu, istri Kakak sepupuku itu tengah hamil tua, dan sekarang bayi yang dikandungnya telah berusia hampir 10 bulan. Nah, tersadarlah aku bahwa sudah selama itu pula aku tak bersua dengan satu-satunya kakak sepupu dari pihak ibuku itu.
Mulanya sang bayi yang bernama Nabil, putra kedua kakak sepupuku itu, merenggut dan menangis ketika tanganku terulur untuk meraihnya. Namun, lama kelamaan bayi lucu itu mau juga kugendong. Sayangnya dalam waktu kurang dari 30 menit dia sudah mengompol 3 kali.
"Ih, dasar Nabil baong," ujarku spontan.
"Baong?" sang Ibu menatapku penuh tanya.
"Baong di sana berbeda dengan baong di sini, Teh," ujar adikku menengahi.
"Oh, iya, kalau di Bandung, kata baong itu artinya nakal, sedangkan di sini -Sukabumi- kan kata baong artinya tidak bisa melihat, ya," tuturku menjelaskan sekaligus menyadari tatap ngeri kakak sepupuku.
Sebenarnya hal yang sama sempat kualami ketika sekitar enam tahun lalu aku menginjakkan kaki di Bandung dan menyerap makna berbeda dari kata baong tersebut. Mungkin karena selama enam tahun ini aku lebih banyak tinggal di Bandung daripada di Sukabumi, akhirnya tanpa kusadari kata baong yang bermakna "nakal" lebih terinternalisasi dalam diriku daripada kata baong yang bermakna "buta" atau "tidak bisa melihat".
Pantas saja kakak sepupuku kaget karena bayi lucunya dikatakan tidak bisa melihat. Mungkin dalam hatinya dia menggerutu dan berucap "Dasar, Seni baong," hehehe....

kata pertama

Bahasa menunjukkan bangsa. Bagiku, sastra menjadi bunganya. Bahasa dan sastra adalah sisi lain dari hidupku dengan porsi yang sedemikian besarnya.